I. PENDAHULUAN
Max Weber dilahirkan 21 April 1864 di Erfurt, Thuringia, yang dewasa ini masuk wilayah Jerman Timur.Max merupakan anak sulung suatu keluarga terpandang yang memberikan penilaian tinggi pada pendidikan dan kebudayaan.Semenjak berusia 14 tahun Max telah mampu membaca hasil-hasil karya Homer, Virgil maupun Livy dalam bentuk aslinya secara lancar.
Dalam tahun 1883, Max memasuki pendidikan militer, yang membuka kemungkinan untuk menjadi perwira cadangan bagi mereka yang berpendidikan sarjana.Setelah menetap sejenak di Goettingen, pada 1886 Max kembali ke Berlin , di sana dia menempuh ujian ilmu hukum dan dengan terpaksa menerima tugas menempati suatu kedudukan pada pengadilan pidana Berlin.Oleh karena pekerjaan tersebut membosankan, Max meneruskan studinya dibawah bimbingan Profesor Mommsen serta menulis disertasinya.Dalam bahasa inggris judul disertasinya adalah A Contribution of the History of Medieval Business Organization.
Ketika dia sedang melakukan kegiatan untuk memenuhi kualifikasi sebagai dosen pada Universitas Berlin, Max menjadi anggota “Verein fur Sozialpolitik”.Organisasi itu bertujuan memperbaiki kondisi ketenagakerjaan, aturan perbankan dan praktek bisnis maupun penanggulangan masalah-masalah sosial lainnya.Anggota-anggota organisasi itu dikenal dengan nama “Katheder Sozialisten” yang sebenarnya merupakan versi Jerman Masyarakat “ Fabian” Inggris.
Dalam tahun 1892 Weber menikah dengan Marianne Schnitger dan semenjak itu dia mulai memberikan kuliah-kuliah secara formal pada Universitas Berlin.Tidak lama kemudian Weber diangkat menjadi guru besar ekonomi pada Universitas Heidelberg.Namun, Weber mengalami kemerosotan mental yang sangat serius, sehingga semua kegiatannya terhenti.Keadaannya mulai pulih dalam tahun 1903 dan semenjak itu dia menekuni masalah metode ilmu-ilmu sosial.
Pada tahun 1904 untuk pertama kalinya Weber mengunjungi Amerika Serikat guna mengikuti suatu kongres ilmu pengetahuan sedunia di kota St. Louis.Dalam tahun yang sama Weber menerbitkan buku berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.Dan semenjak tahun 1907 Max mengundurkan diri dari kegiatan memberikan kuliah pada Universitas Heidelberg dan melanjutkan peranannya sebagai ilmuwan pribadi.Kemudian dia menulis sebuah buku mengenai ekonomi yang mencoba menganalisa evolusi peradaban Barat dalam kerangka perkembangan rasionalitas.
Selama Perang Dunia Pertama berkecamuk, Weber menjadi administrator rumah sakit Angkatan Bersenjata Jerman.Dalam tahun 1918 dia menjadi konsultan pada Komisi Gencatan Senjata Jerman dan penasihat Komite Reformasi Konstitusional Jerman.Nasihat Weber menghasilkan pasal 41 Konstitusi Weimar yang mengatur pemilihan presiden.Meninggalnya Weber pada bulan Juni tahun 1920 dalam usia 56 tahun justru pada saat ajarannya mengenai pendidikan politik mulai berkembang.Weber meninggalkan beberapa hasil studi yang belum diselesaikannya, misalnya “ Wirtschaft und Gesselschaft” ( Ekonomi dan masyarakat).
Menurut Weber, perilaku manusia yang merupakan perilaku sosial harus mempunyai tujuan tertentu, yang terwujud dengan jelas.Artinya, perilaku itu harus mempunyai arti bagi pihak-pihak yang terlibat, yang kemudian berorientasi terhadap perilaku yang sama dengan pihak lain.Bentuk perilaku sosial yang paling penting adalah perilaku sosial timbal-balik atau resiprokal.Suatu hubungan sosial ada apabila para individu secara mutual mendasarkan perilakunya pada perilaku yang diharapkan oleh pihak-pihak lain.
Beberapa tipe hubungan sosial yang penting adalah perjuangan, komunalisasi, agregasi, dan kelompok korporasi.
- Perjuangan merupakan suatu bentuk hubungan soaial yang menyangkut perilaku individual sedemikian rupa sehingga salah satu pihak memaksakan kehendaknya terhadap perlawanan pihak lain.
- Komunalisasi merupakan hubungan sosial yang didasarkan pada perasaan subyektif, baik yang bersifat emosional atau tradisional atau kedua-duanya.
- Agregasi merupakan hubungan sosial yang didasarkan pada keserasian motivasi rasional atau keseimbangan berbagai kepentingan.
- Kelompok korporasi merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang berkaitan dengan wewenang yang dilandaskan pada kegiatan seorang pemimpin dan suatu staf administrasi.
Ketiga tipe hubungan sosial tersebut di atas mungkin terbuka atau tertutup, tergantung pada dasar peran sertanya, yaitu apakah kesukarelaan atau paksaan.
Suatu pengartian yang agak sulit dipahami adalah pengartian “pemahaman” atau “verstehen”.Bagi Weber pentingnya “pemahaman” dalam arti teknis murni adalah bahwa hal itu memberikan petunjuk pada pengamatan dan penafsiran teoritis terhadap keadaan kejiwaan subyektif manusia yang sedang dipelajari perilakunya.Dengan lain kata, “pemahaman” merupakan sarana penelitian sosiologis yang bertujuan untuk memberikan pengartian yang lebih mendalam, mengenai hubungan antara keadaan tertentu dengan proses perilaku yang terjadi.
Analisa sosiologis dimulai dengan penjelasan kausal jenis perilaku sosial yang mengarah pada proses mendapatkan kekuasaan dan prestise dengan memperlihatkan hubungan itu, mengapa terjadi kebehasilan atau kegagalan, dan akibat-akibat usaha mendapatkan kekuasaan mempunyai arti bagi pribadi-pribadi atau pihak-pihak lainnya.
Suatu penafsiran kausal yang sesuai diperoleh apabila kemungkinan terulangnya suatu gejala dalam kondisi yang sama dapat ditetapkan secara empiris.Oleh karena itu, kalau sosiologi ingin mencapai penjelasan ilmiah yang serasi , ilmu tersebut harus mempergunakan dua kriteria , yaitu kesesuaian pada taraf arti dan kesesuaian kausal.
Batas Weber mengenai negara terutama didasarkan pada wewenang, birokrasi, yurisdiksi atas wilayah tertentu dan monopoli penggunaan kekuatan secara sah.Weber beranggapan kekuasaan merupakan kesempatan bagi seseorang atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya terhadap pihak lain walaupun hal itu bertentangan dengan kehendaknya.Namun Weber sendiri tidak menyukai perumusan tersebut karena dia cenderung mempergunakan pengartian dominasi yang sebenarnya merupakan kekuasaan politik.dominasi diperoleh dengan cara mempengaruhi pihak-pihak lain melalui artikulasi eksplisit kehendak pemegang dominasi dan dengan memaksa agar perintahnya ditaati.
Demikianlah beberapa konsep pokok dalam sosiologi yang dikembangkan oleh Max Weber yang akan dijelaskan secara lebih terinci dalam bab-bab selanjutnya.Penegasan beberapa konsep dasar sosiologi beserta penjelasannya secara singkat hanyalah merupakan suatu usaha untuk mempermudah pemahaman terhadap karya-karya besar Weber di bidang sosiologi yang begitu luas dan mendalam.
II. KONSEP SOSIOLOGI DAN ARTI PERILAKU SOSIAL
A. Dasar-dasar metodologis
- Berbagai penafsiran istilah sosiologi bertujuan menjelaskan sebab, proses, serta efek perilaku sosial.
- Istilah perilaku sosial merujuk pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan sebagaimana ditafsirkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan
- Istilah “arti” yang digunakan didalam disiplin-disiplin ortodoks tidak dapat digunakan didalam ilmu-ilmu perilaku
- Kemampuan menempatkan diri sebagai pelaku merupakan hal penting untuk memahami, namun bukan prakondisi mutlak bagi penafsiran yang mengandung arti
- Setiap penafsiran dalam ilmu pengetahuan bertujuan member bukti yang jelas dan teruji, baik bersifat rasional ataupun emosional
- Tingkat kepekaan mempengaruhi kemampuan pemahaman hawa nafsu manusia maupun perilaku irasional
- Suatu konstruksi perilaku yang berorientasi pada tujuan menjelaskan pemahaman dan kepastian secara faktor rasional dan irasional
- Metode pada sosiologi dianggap rasionalistis karena efisiensi metodologis, namun hal ini tidak dapat dianggap sebagai penonjolan rasionalisme dalam eksistensi manusia
- Pada ilmu-ilmu perilaku manusia terdapat proses dan gejala yang tidak mempunyai arti subyektif, tanpa mengacu pada obyek hal tersebut sama sekali tidak berarti
- Segala proses tidak memiliki arti apabila tidak dikaitkan dengan suatu tujuan yang berarti; terlepas dari persoalan bersifat manusiawi atau tidak
- Terdapat 2 jenis “pemahaman”, yakni pemahaman empiris dan pemahaman eksplanatoris.
- Penafsiran yang maksimal belum tentu merupakan hal yang sah secara kausal, melainkan hanya diterima sebagai suatu hipotesa
- Bentuk perilaku yang ditelaah pengamat yang mempunyai ciri-ciri yang sama didasarkan pada berbagai macam motif dalam diri pelaku
- Motivasi diartikan sebagai perangkat arti yang ada bagi individu yang terlibat sebagai dasar yang kuat
- Penafsiran kausal yang benar terhadap proses perilaku yang kongkrit akan diperoleh apabila perilaku nyata dan motif-motifnya dipastikan adanya secara benar dan hubungannya memiliki makna tertentu
- Keseragaman statistik mengandung perilaku yang mudah dipahami
- Terdapat organisasi-organisasi sosial hewaniah seperti keluarga, kelompok-kelompok, maupun negara dengan pembagian kerja fungsional
- Ruang lingkup diferensiasi fungsional yang terdapat pada masyarakat hewan bersifat parallel
- Konsep Weisman mengenai peranan dominan seleksi alamiah didasarkan pada deduksi non empiris
Jenis perilaku yang fungsional dalam rangka ketahanan manusia, dan pentingnya kesinambungan kekhususan budaya dan tipe tipe perilaku social yang berkaitan, sebelum memasuki penelitian terhadap asal mula dan motivasinya. Artinya perilaku mana yang khas dan cukup penting untuk diklasifikasikan dalam kategori-kattegori tertentu sehingga relevan bagi analisa awal. Fungsi khusus sosiologi adalah suatu analisa yang akan dapat dipergunakan untuk memahami perilaku manusia pribadi terdiferensiasi.
Suatu metodologi inidividualistis juga merupakan dugaan awal dari system individualistis. Salahnya terdapat kecenderungan pada konsep-konsep social untuk mendapatkan cirri rasional atas dasar kepercayaan bahwa motif-motif rasional selalu mendahului atau secara positif dapat dinilai.
Sepanjang perilaku berorientasi pada tujuan maka perilaku tersebut tidak dapat berganti tujuan. Alasannya mungkin bersifat teknis karena dengan memberikan tujuan yang dirumuskan dengan jelas maka tidak ada sarana lain bagi pribadi yang terlibat dalam perilaku demikian.
Tujuan metodologis tertentu membenarkan penanganan tipe-tipe proses tertentu yang mencoba mengikuti prosedur ilmu alamiah yang memisahkan aspek fisik dari aspek psikis suatu gejala tertentu sehingga asing bagi disiplin yang menelaah perilaku manusia.
1. KONSEP PERILAKU SOSIAL
Perilaku social berorientasi pada masa lampau, oleh karenanya hal itu mungkin disebabkan adanya rasa dendam pada masa lampau, pertahanan terhadap bahaya yang menganccam pada saat sekarang maupun masa akan datang. Perilaku seseorang mungkin terpengaruh karena keanggotaannya akibatnya adanya kemungkinan bahwa suatu peristiwa tertentu atau cara berperilaku tertentu dapat membangkitkan emosi dalam situasi kerumunan. Hal itu tidak terjadi apabaila individu dengan sepenuhnya menyadari keadaan dirinya.
Perbuatan meniru perilau pihak lain seperti dikatakan oleh G. Tarde bukan merupakan perilaku social apabila hal itu bersifat reaktif dan tidak mempunyai orientasi yang berarti terhadap pihak yang ditiru perilakunya. Sosiologi tidak hanya mencakup perilaku social,namun perilaku demikian merupakan ruang lingkup sentral dan merupakan bagian yang sangat penting dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.
2. BENTUK-BENTUK KARAKTERISTIK PERILAKU SOSIAL
Perilaku yang berorientasi tujuan adalah perilaku yang dapat diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap tujuan yang didasarkan pada harapan bahwa obyek-obyek dalam situasi eksternal atau pribadi akan berperilaku tertentu, dan menggunakan harapan seperti kondisiatau sarana untuk mencapai tujuan.
Perilaku yang terkait dengan nilai adalah kepercayaan secara sadar akan arti mutlak perilaku sehingga tidak tergantung pada suatu motif tertentu dan diukur melalui patokan tertentu seperti etika, estetika, agama.
Perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai sesuatu yang bersifat afektif atau emosional yang merupakan hasil konfigurasi khusus dari perasaan pribadi.
Perilaku social yang diklasifikasikan sebagai tradisional yang telah menjadi adat istiadat.
3. TIPE-TIPE PERILAKU SOSIAL
Kebiasaan adalah suatu keseragaman orientasi perilaku social actual apabila perwujudannya didasarkan pada aktualitas perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan disebut adat istiadat kalau pola tersebut berlangsung lama sekali sehingga merupakan tradisi. Kebiasaan yang ditentukan oleh situasi kepentingan diri para pribadi adalah kalau suatu kebiasaan ditentukan oleh fakta bahwa semua perilaku pihak terarah pada harapan harapan identik.
Stabilitas adat istiadat secara esensial didasarkan pada fakta apabila seseorang tidak menyesuaikan perilakunya pada adat istiadat maka akan timbul kesulitan-kesulitan yang akan mengganggu kehidupannya. Dan stabilitas setiap perilaku kalau yang bersangkutan tidak memperhitungkan kepentingan pihak lain, maka dia akan mengundang permusuhan pihak lain tersebut halmana akan menghancurkan kepentingannya sendiri.
III. HUBUNGAN SOSIAL
A. Konsep Hubungan Sosial
Pengertian hubungan social dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-massing. Batasan hubungan social tidak berisikan informasi mengenai taraf solidaritas (atau gejala yang merupakan lawannya) yang menjadi ciri pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku tertentu. Hubungan social juga terdapat dalam kasus-kasus suatu organisasi social seperti Negara, gereja, asosiasi, perkawinan dan seterusnya, oleh karena itu ada suatu oerilaku atau perilaku yang akan terjadi pada mas yang akan datang.
Suatu hubungan social mungkian bersifat transitor atau mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda. Artinya, mungkin terdapat pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subjektifnya sehingga memang diharapkkan. Akan tetapi untuk menghindakan terjadinya kesan yang keliru,perlu dicatat bahwa hal itu hanya merupakan bukti adanya suatu hubungan social. Arti subjektif hubungan social bisa berubah misalnya, suatu hubungan politis yang semula didasarkan pada solidaritas, mungkin berubah dasarnya menjadi konflik. Arti dari hubungan social dapat disepakati atas dasar persetujuan mutual. Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat suatu perjanjian mengenai perilakunya di masa depan.
B. Konsep Pejuangan
Suatu hubungan social dinamakan pejuangan apabila perilaku salah satu pihak secara sengaja berorientasi pada pelaksanaan keinginannya terhadap perlawanan pihak lain atau pihak-pihak lain. Kalau sarana perjuangan tidak mencakup kekerasan fisik actual, maka proses tersebut disebut perjuangna damai. Perjuangna social atau individual yang seringkali bersifat laten untuk mendapatkan keuntungan atau untuk bertahan yang tidak harus didasarkan pada konflik kepentingan, disebut seleksi.
Semua bentuk perjuangan dan semua cara bersaing yang terjadi akan dilanjutkan dengan proses seleksi memilih meraka yang memiliki kualitas tertinggi yang diperlukan bagi tercapainya suatu keberhsilan. Namun tidak setiap proses social merupakan sebuah perjuangan. Pengartian perjuangan hanya ada apabila pertentangan berlangsung secara murni. Secara alamiah perlu dibedakan antara perjuangan dengan proses seleksi.
C. Komunalisasi dan Agregasi Hubungan-hubungan Sosial
Komunalisasi hubungan-hubungan social terjadi apabila proses seleksi didasarkan pada rasa solidaritas, yang merupakan hasil keterikatan secara emosional atautradisional. Agregasi hubungan-hubungan social merupakan hasil rekonsiliasi dan keseimbangan kepentingan-kepentingan yang dimotivasikan oleh penilaian secara rasional atau kebiasaan.
Bentuk hubungan agregatif yang paling murni dapat ditemukan pada:
- Kompromi antara kepentingan-kepentinagn yang bertentangan, namun bersifat komplementer.
- Perserikatan sukarela yang murni yang didasarkan pada kepentingan diri yang tujuannya adalah kepentingan material tertentu.
- Perserikatan sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai ideologis yang mutlak.
Komunlisasi mungkin didasarkandalam bentukhubungan emosional, afektif ataupun tradisional. Tipe hubungan ini lazimnya dijumpai pada hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Dengan demikian secara normal pengartian komunalisasi dipergunakan sebagai lawan perjuangan. Dalam hubungan-hubungan komunal mungkin juga timbul proses seleksi, yang menimbualkan perbedaan-perbedaan pada kesempatan dan ketahanan. Perlu dicatat pula bahwa kualitas yang sama atau situasi yang sama ataupun cara berperilaku yang sama dengan sndirinya merupakan suatu hubungan komunal. Hubungan komunal hany aterdapat apabila terdapat perasaan yang sama terhaddap ituasi tertentu dengan segala konskuensinya berorientasi terhadap perilaku masing-masingterhadap sesamanya.
Komuniti bahasa timbul akibat persamaan tradisi melaluikeluarga dan lingkungan social. Bahasa sendiri tidak cukup untuk menimbulkan komunalisasi; fungsinya hanya mempermudah komunikasi sehingga menimbulkan peningkatan taraf agregatif.
D. Hubungan Soosial Terbuka dan Tertutup
Suatu hubungan social baik yang bersifat komunal ataupun agregatif mungkin bersifat terbuka bagi kalanygan luar, apabila ikut sertanya pihak-pihak tersebut dalam orientasi perilaku social mutual yang relevan bagi arti subjektifnya, tidak dilarang oleh wewenang yang berkuasa. Hubungannya bersifat tertutup, kalau hal itu dilarang, dibatasi atau terikat pada syarat-syarat tertentu. Suatu hubungan social yang tertutup sifatnya akan dapdt mempertahankan monopolinya melalui cara-cara:
• Membiarkan terjadinya persaingan benas antara pihak-pihak dalam kelompok itu.
• Mengatur atau memberikan alokasi terhadap keuntungan-keuntungan yang diperoleh.
• Mempertahankan keserasian hubungan yang telah ada.
Cara yang ketiga merupakan suatu upaya untuk menutup diri yang bisanya disebut hak.
Seorang peserta aktif dalam hubungan social tertutup lazimnya dinamakan anggota; namun apabila partisipasinya diatur sedemikan rupa sehingga menjamin hak-haknya, maka dia disebut sebagai anggota secarahukum yang mempunyai hak dan keistimewaan-keistimewaan tertentu. Beberapa contoh yang perlu dicatat adalah sebagai berikut:
- Hubungan komunal yang cenderunga erat karena tradisi, adalah umpamanya, kelompokyang anggotanya didasarkan pada hubungan kekerabatan
- Hubungan-hubungan pribadi yang bersifat emosional, yakni yang didasarkan pada rasa cinta atau kesetiaan, biasanya bersifat tertutup.
- Ketertutupan yang didasarkan pada nilai-nilai merupakan cirri kelompok yang didasarkan pada kepercayaan atau agama yang sama.
- Ketertutupan orientasi tujuan merupakan cirri asosiasi ekonomi yang bersifat monopolis atau plutokratis.
Motivasi-motivasi pokok untuk mengadakan hubungan social terbatas, adalah:
- Usaha untuk mempertahankan kualitas maupun prestise dari kesempatan yang diperoleh untuk menikmati kehormatan atau keuntungan tertentu.
- Keterbatasan kesempatan dalam hubungan pemenuhan kebutuhan komsumtif.
- Keterbatasan kehidupan untuk hidup layak.
E. Tanggung Jawab dalam Hubungan Sosial
Suatu hubungan social, halmana tergantung pada apakah prosesitu dikuasai wewenang tradisional atau legal, mungkin menghasilkan tipe-tipe perilaku tertentu oleh mereka yang terlbat dalam hubungan itu, yang mempunyai akibat-akibatnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hubungn social mungkin menghasilkan solidaritas kolektif atau perwakilan. Perkembangan hubungan social menjadi ikatan solidaritas atau perwakilan, tergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satu kondisi yang menentukan adalah sampai sejauh manakan perilaku kelompok diarahkan pada konflik dengan kekerasan atau kedamaian sebagai tujuan. Dalam kenyataan, masalah tanggung jawab mencakup baik solidaritas aktif maupun pasif. Semua pihak dapat dibebani tanggung jawab terhadap perilaku salah sworang anggot, sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri ,dan anggota-anggota lain mempunyai hak untuk ikut menikmati kemajuan-kemajuan yang dicapai karena perilaku pribadinya.
IV. KONSEP WEWENANG
A. KONSEP WEWENANG YANG SAH
Dari sudut para individu dapat berorientasi pada gagasan eksistensi suatu wewenang yang sah. Kemungkinan terjadi orientasi itu secara aktual akan dinamakan validitas wewenang yang dipermasalahkan.Validasi wewenang tidak hanya berarti suatu perialku teratur yang ditentuakn oleh adat-istiadat atau kepentingan diri. Isi suatu hubungan sosial mencerminkan wewenang, apabila perilaku tersebut dapat diorientasikan pada aksioma-aksioma tertentu yang dikenal. Baru dalam keadaan demikian suatu wewnang mendapatkan validitas kalau orientasi terhadap aksioma-aksioma itu mencakup paling sedikit suatu pengakuan bahwa hal itu mengikat pribadi atau bahwa perilaku itu pantas untuk ditiru.
Dalam kenyataan mungkin terjadi bahwa yang menjadi pegangan adalah orientasi terhadap wewanang yang sah, walaupun artinya tidak dipatuhi. Fakta bahwa suatu wewnang dianggap sah dalam suatu kelompok menyebabkan pencuri tadi menyembunyikan praktek perilakunya. Menurut Max Weber, (H.P. Secher 1962: 72)
“This is, of course, a marginal case and frequently the authority is violated partially only in one or another respect or its violation is sought to be passed off as legitimate with a varying measure of good faith.”
Bagi seorang soiolog terjadi suatu proses transisi gradual antara dua kutub yaitu validitas ekstrim dan non-validitas ekstrim, sehingga bagi seorang sosiolog kemungkinan adanya sistem-sistem wewenang yang saling bertentangan memang ada. Setiap sistem wewenang adalah sah dalam proporsinya terhadap kemungkinan bahwa perilaku tertentu secara aktual akan berorientasi pada wewenang itu.
Secara tidak logis Staemmler menganggap wewenang ebagai bentuk perilaku sosial dan mencoba menghubungkan dengan isi dengan menerapkan analogi. Staemmler beranggapan bahwa hubungan kasual antara wewenang dengan perilaku sosial empiris merupakan sesuatu yang mutahil secara konseptual. Memang benar bahwa antara validitas normatif ortodoks dan legal suatu sistem wewenang dengan setiap proses empiris tidak dapat ditemuakn hubungan kasual. Ada hubungan kasual antara perilaku sosial yang berorientasi pada kepercayaan subyektif terhadap validitas suatu wewenang, dengan perilaku sosial yang mempengaruhi orientasi ekonomis.
B. TIPE-TIPE WEWENANG YANG SAH
Sahnya uatu wewenang dapat dijamin denagn cara-cara sebagai berikut:
1. Berdasarkan hal yang murni subyektif, yakni
- Menyerah secara afektif atau emosional,
- Berasal dari kepercayaan rasional terhadap validitas mutlak wewenang sebagai ekspresi nilai-nilai yang mengikat secara etis, estetis, dan seterusnya
- Berasal dari sikap tindak keagamaan
2. Berdasarkan kepentingan diri, misalnya harapan akan terjadinya akibat-akibat tertentu.
Suatu sistem wewenang bersifat konvenional, apabila validitasnya dijamin oleh kemungkinan bahwa penyimpangan terhadapnya akan ditentang baik secara umum maupun khusus.
Pelanggaran terhadap konvensi, misalnya etika profesi, seringkali dihadapi dengan retribusi yang efektif dan keras dalam bentuk ostrasisme sosial, yang mungkin lebih keras apabila dibandingkan dengan sanksi hukum (yang negatif). Konsep hukum akan dirumukan dalam kaitannya dengan adanya suatu organ penegakan tertentu. Hukum internasional lazimnya dianggap tidak mempunyai kualitas hukum, oleh karena tak ada organ penegakan yang serupa nasional. Rumusan hukum mencakup suatu sistem wewenang yang legitimasinya didasarkan pada harapan, bahwa suatu sanksi akan dijatuhkan kepada mereka yang melanggar hukum. Artinya, perilaku dijamin seluruhnya oleh konvensi dan kebiasaan, sehingga bukan adanya organ penegakan yang menentukan sebagai dasar.
Hukum dapat dijamin oleh wewenang keagamaan maupun politik, serta juga oleh perundang-undangan tertentu, atau bahkan oleh wewenang kepala rumah tangga. Secara sosiologis aturan-aturan suatu organisasi fraternal merupakan hukum; demikian pula halnya dengan aturan-aturan perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan (sebagai contoh Weber menyebut pasal 888 bagian 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Jerman).
Wewenang mungkin timbul berdasarkan kekuasaan mengatur suatu situasi kongkrit tunggal. Suatu sistem wewenang yang dijamin oleh sanksi-sanksi eksternal mungkin membudaya. Seorang sosiolog menganggap suatu patokan sebagai hal yang etis, kalau itu dianggap indah dari sudut estetis. Patokan etis tersebut dari sudut agama dijamin dengan sanksi-sanksi. Setiap sistem etika yang sah secara sosiologis didasarkan pada konvensi; artinya, kalau terjadi pelanggaran, maka timbul reaksi negatif dari masyarakat.
C. VALIDITAS WEWENANG YANG SAH
Suatu sistem wewenang adalah sah, menurut pandanagn-pandangan tertentu. Pandangan-pandangan tersebut biasanya mencakup pelbagai cara, misalnya:
- Melalui tradisi; apa yang dari dulu ada senantiasa sah
- Melalui keterikatan emosional; apa yang dianggap baik senantiasa harus dianut.
- Kepercayaan terhadap nilai-nilai yang mutlak; apa yang dianggap mutlak sah adalah sah.
- Dalam bentuk pernyataan positif yang legalitanya diakui, sehingga tidak boleh dipermasalahkan lagi. Legalitas itu dianggap sah, karena: Kesepakatan secara sukarela dan karena dipaksakan
Dasar sahnya suatu wewenang byang paling tua dan universal adalah yang didasarkan pada kekeramatan tradisi.
Wewenang-wewenang yang dibentuk secara sadar biasanya berasal dari kewibawaan dewa-dewa ataupun nabi-nabi. Ketaatan didasarkan pada kepercayaan terhadap sahnya kedudukan dan peranan dewa-dewa atau nabi-nabi. Bentuk legitimasi yang lazim adalah kepercayaan terhadap legalitas, yakni ketaatan pada keputusan-keputusan yang secara formal benar dan yang diterapkan melalui tata cara yang dikenal. Dewasa ini, pengakuan dari mayoritas sudah cukup. Dalam keadaan demikian, maka wewenang biasanya dipaksakan oleh mayoritas terhadap minoritas. Kadang-kadang suatu minoritas yang memaksakan wewenangnya secara keras terhadap mayoritas yang mula-mula menentangnya. Menurut Weber, maka (H.P Secher 1962: 83) “Where voting is the legal method of creating or changing a system of authority, it happen frequently that the will of the minority achieves a formal majority to which the real majority acquiesces: in this case “majority rule” become mere sham. The belief in a contractual of authority can be traced to fairly ancient times and can also be found among so-called primitive people, but in such cases it is almost always supplemented by the authority of oracle”.
Biasanya ketaatan terhadap wewenang tertentu ditentukan oleh kombinasi beberapa motif, seperti kepentingan diri, keteriakatan pada tradisi, kepecayaan pada legalitas, dan seterusnya. Seringkali mereka yang mematuhi suatu wewenang tidak menyadari sebab-sebabnya; hal itu menjadi tuga sosiolog.
D. TIPE-TIPE WEWENANG PADA KELOMPOK KORPORATIF
Wewenang yang berkuasa dalam kelompok korporatif mungkin menganggap dirinya mempunyai kekuasaan sah untuk menerapkan aturan-aturan baru. Adanya konstitusi berarti adanya kemungkinan praktikal bahwa aturan-aturan itu dipaksakan oleh wewenang yang berkuaa dengan maksud agar ditaati. Aturan-aturan atau perundang-undangan suatu kelompok korporatif tidak hanya dapat dipaksakan keberlakuannya terhadap anggota-anggotanya, namun juga terhadap orang-orang lain kalau syarat-syarat tertentu telah dipenuhi. Syarat-syarat itu biasanya dikaitkan dengan wilayah dan mengacu pada tempat tinggal, kelahiran, atau melakukan aksi-aksi tertentu di wilayah tersebut. Dalam kasus ini sistem wewenang dianggap mempunyai validitas teritorial.
Secara sosiologis, maka setiap pengartian wewenang selalu bersifat memaksa, sepanjang hal itu tidak berasal dari suatu kesepakatan pribadi yang didasarkan pada kesukarelaan. Konsep kontitusi yang dipergunakan oleh Lassalle. Hal itu hendaknya tidak dirancukan dengan konstitusi tertulis, atau dengan konstitusi dalam artian hukumnya.
E. HAKIKAT WEWENANG ADMINISTRATIF DAN REGULATIF DALAM KELOMPOK-KELOMPOK KORPORATIF
Sistem wewenang yang mengatur perilaku korporatif disebut wewenang administratif. Suatu sistem wewenang yang menguasai perilaku sosial lainnya, sehingga melindungi kepentingan-kepentingan maupun pribadi-pribadi dalam sistem, disebut wewenang regulatif.
Konsep wewenang administratif mencakup semua aturan yang mengatur perilaku taf administrasi maupun anggota-anggota kelompok. Tipe hubungan anggota-kelompok semacam itu mencakup perilaku yang mengabdi pada tujuan yang wajib dicapai, halmana sudah direncanakan terlebih dahulu, sehingga tinggal dilaksanakan oleh staf administrasi dan anggota-anggotanya. Pembedaan antara wewenang administratif dengan wewenang regulatif adalah sama dengan pembedaan antara hukum public denagn hukum privat dalam suatu kelompok korporatif politik.
F. KONSEP-KONSEP KEKUASAAN DAN DOMINASI
Kekuasaan berarti kesempatan yang ada dalam suatu hubungan sosial yang memungkinkan suatu pihak menjalankan kemauannya walaupun mendapat perlawanan dari pihak lain, tanpa mempersoalkan dasar kesemapatan itu. Dominasi merupakan suatu kesempatan untuk memerintah, sehingga ditaati oleh suatu kelompok. Disiplin adalah suatu kesempatan untuk mendapatkan kepatuhan yang serta merta halmana dapat diduga berdasarkan orientasi terhadap perintah yang selama itu ada.
Secara soiologis konsep kekuasaan tidak mempunyai bentuk tertentu. Konsep dominasi sifatnya lebih terjabarkan dengan kemungkinan bahwa perintah ditaati. Konsep disiplin mencakup hakikat alamiah kepatuahan masa yang tidak kritis sifatnya. Sepanjang anggota-anggota suatu kelompok korporatif tunduk pada penerapan dominasi yang legal, maka hal itu disebut dominasi korporatif.
Secara normal dominasi korporatif pada saat yang bersamaan juga merupakan suatu organisasi administrative. Hakikat suatu kelompok korporatif ditentukan oleh pelbagai factor. Faktor-faktor itu adalah, antara lain:
1. Cara pelaksanaan administrasi,
2. Ciri-ciri petuga-petugasnya.
3. Ruang lingkup pengendaliannya,
4. Ruang lingkup yuridiksi efektif dominasi.
Faktor pertama dan kedua tergantung pada taraf tertinggi pengesahan wewenang.
V. Konsep dan Tipe Kelompok Korporatif
A. Konsep dan Tipe
- Pengertian kelomok korparatif menunjuk pada hubungan soial tertentu yang tertutup bagi pihak luar atau membatasi masuknya orang luar dengan peraturan yang ketat.
- Perilaku korporatif adalah suatu tindakan-tindakan staf administrasi atas dasar wewenangnya, atau pemilikan kekuasan yang berorientasi pada pelaksanaan wewenang.
- Ada atau tidaknya kelompok korporatif itu tergantung dari ada atau tidaknya pihak atau petugas-petugas yang mempunyai wewenang untuk mengekspresika aturan-aturan yang mengendalikan kelompok itu.
B. Hakikat Organisasi
Organisasi korparatif merupakan suatu hubungan social agregatif yang mempunyai staf administrasi yang kegitanya berorientasi hanya pada pecapaian tujuan organisasi secar terus menerus. Dua kelompok korporatif, yaitu :
- Asosiasi sukarela (klub) didasarkan pada persetujuan secara sukarela yang aturan-aturannya hanya sah bagi anggota-anggota yang secara pribadi menjadi bagiankelompokitu.
- Asosiasi memaksa (lembaga; institusi) aturan-aturannya dipaksakan dengan berhasil dalam ruang lingkup yurisdiksi,terhadap setiap perilaku pribadi yang taat pada criteria tertentu yang khas.
C. Tipe-Tipe Kelompok Korporatif Politik dan Keagamaan
Dominasi korporatif yang disebut politis sepanjang tujuannya adalah memprengaruhi kepeimpinan suatu kelompok korporatif politik terhadap segala segi kekuasaan. Suatu asosiasi politik memaksa dengan orientasi sinambung disebut Negara. Dominasi korporatif disebut hirokratis kalau melaksanakan paksaan psikis untuk mempertahankan wewenangnya. Suatu asosiasi hirokratis memaksa disebut gereja.
Menurut Weber (H.P. Secher 1962:120) “from the concern for bodily wefare to the patronage of art, there is no conceivable goal which ome poltical corporation has not at some time pursued, nor is there a goal, from the protection of personal security to the administration of justice, which all have recognize”. Akibatnya adalah bahwa ciri politik suatu kelompok korporatif hanya dapat ditentukan atas dasar sarana yang sama sekali tidak khas, yang mungkin menjadi tujuannya, akan tetapi yang hars ada, dan itu adalah penggunaan kekuatan.
VI. PENUTUP
Jalan pikiran Weber ditandai dengan satu wawasan yang luas yang bersifat metodologis, ilmiah dan filosofis. Weber menelaah kekeliruan-kekeliruan penggunaan logika, kesamaran-kesamaran, maupun ketidakcermatan. Menurut dia pengembangan imu pengetahuan melalui penelitian merupakan proses tang tidak ada akhirnya. Dari penjelasa-penjelasan diatas, nyata bahwa pemikiran ilmiah Weber agak dipengaruhi oleh ggasan-gagasan politiknya. Disaping itu Weber menghndari diri dari penjelasan yan bertitik tolak pada suatu titik tolak berpikir tunggal. Dia beranjak dari asumsi dasar bahwa realitas empiris sangat luas ruang lingkupnya.
Menurut Weber, konsep tetap diperlukan dalam penggunaan metode apapun, walaupun konsep tersebut tidak mungkin mereproduksikan kenyataan secara sempurna.